Jumanto Jumanto PhD in Linguistics (Pragmatics), Universitas Indonesia, 2006. Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Surat edaran resmi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor: 100/449/SJ tertanggal 26 Januari 2015, yang ditujukan kepada seluruh Sekretaris Daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia memerintahkan untuk menyeragamkan penyebutan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat acara, dengan format: ‘YANG TERHORMAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAPAK JOKOWI’ menurut hemat saya, adalah salah satu upaya untuk menjunjung formalitas dalam berbahasa Indonesia, sehingga kesantunan berbahasa Indonesia dapat terjaga. Hal ini adalah upaya yang baik, mengingat komunikasi antara Presidan dan Rakyat Indonesia memang terjadi di ruang publik, bukan ranah pribadi atau privasi. Namun sudah benarkah format tersebut? Bahasa adalah sebuah kode, yang mengatur kehidupan komunikasi verbal dan non-verbal manusia sehari-hari, dalam situasi formal, informal, atau campuran keduanya. Namun penggunaan bahasa tidak bisa begitu saja kita ’lontarkan’ kepada siapa saja, dengan bentuk apa saja.
Di sinilah terjadi peranan petutur, lawan bicara, atau pendengar, dan juga peranan konteks dan situasi, jadi mempertimbangkan kepada siapa, kapan, dan di mana kita menggunakan bahasa. Dari peranan petutur, ada kita kenal petutur yang akrab dan yang tidak akrab, yang superior atau yang subordinat. Di sinilah terjadi bahasa santun (distant language) dan bahasa akrab (close language). Bahasa santun mengarah ke kesantunan, sementara bahasa akrab mengarah ke keakraban. Bahasa santun digunakan dalam situasi formal dengan petutur yang tidak akrab, sementara bahasa akrab digunakan dalam situasi informal atau akrab atau santai dengan petutur yang akrab. Ciri-ciri dari bahasa santun adalah: lebih panjang, lebih lengkap, dan tertata rapi, dengan topik yang umum dan aman. Sementara itu, ciri-ciri dari bahasa akrab adalah lebih pendek, tidak lengkap, dan tidak tertata rapi: disingkat-singkat, dibolak-balik, diganti-ganti, sesuai dengan kehendak penutur tertentu, atau kelompok penutur tertentu. Topik bahasa akrab adalah bebas, apa saja. Marilah kita cermati format di atas.
Frasa YANG TERHORMAT memiliki formalitas tinggi karena tidak disingkat. Biasanya frasa ini muncul bersama kata KEPADA, dan biasa disingkat KPD YTH atau KEPADA YTH. Yang berikutnya adalah frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Frasa ini juga memiliki formalitas yang tinggi, karena tidak disingkat menjadi PRESIDEN RI. Frasa yang ketiga BAPAK JOKOWI terdiri dari kata BAPAK dan JOKOWI. Kata BAPAK memiliki formalitas yang tinggi, karena tidak disingkat menjadi BPK, yang kurang formal. Sementara itu, kata JOKOWI adalah singkatan dari JOKO WIDODO. Dari konteks formalitas, JOKOWI seyogyanya untuk informalitas atau keakraban, sementara frasa JOKO WIDODO untuk formalitas tinggi. Formalitas dalam berbahasa mengacu ke kesantunan berbahasa. Sehingga dalam kasus ini, formalitas yang konsisten sebenarnya adalah YANG TERHORMAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAPAK JOKO WIDODO. Hal ini jangan dianggap sepele, karena institusi kepresidenan adalah bukan hal yang sepele, dan wajib menyandang formalitas setinggi-tingginya, ke arah kesantunan berbahasa, dalam acara apapun dalam bahasa lisan, apalagi dalam hal bahasa tertulis dan surat-menyurat. Berbahasa memang seperti berpakaian atau berbusana. Ucapan terima kasih dalam kata TKS (disingkat) atau MAKASIH (disingkat) atau KAMSIA (dibalik) atau THANKS (diganti dan disingkat), misalnya, adalah seperti kita memakai celana kolor saja ketika sedang ngobrol dengan kakak atau adik yang akrab dalam situasi informal atau santai. Namun dalam konteks formalitas yang tinggi, sehingga kesantunan juga terjaga, bentuk tersebut tidak akan muncul, tapi akan berubah menjadi TERIMA KASIH atau bahkan SAYA MENGUCAPKAN TERIMA KASIH, seperti halnya kita berpakaian lengkap dengan celana, baju lengan panjang, dasi, bahkan penutup kepala tertentu sesuai situasi tertentu. Memang dalam konteks akrab, hanya Jokowi yang tahu, ia mungkin akan senang dipanggil dengan kata JOKOWI, atau JOK, atau OWI, atau JW, atau bahkan nama alias atau panggilan akrab tertentu masa kecil dalam konteks akrab dengan saudara atau teman yang akrab dalam ruang pribadi atau situasi informal, tidak ada orang ketiga apalagi orang banyak.
Berbahasa memang seperti berpakaian atau berbusana, kita memang harus menyesuaikannya ke arah kesantunan atau keakraban. Format YANG TERHORMAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAPAK JOKOWI terkait institusi kepresidenan di negeri ini, mungkin seperti berpakaian jas lengkap dan rapi untuk formalitas yang tinggi, tapi dasinya atau jasnya cuwil atau robek sedikit. Alangkah baiknya jika dasi atau jas tersebut kita ganti atau kita tambal menjadi JOKO WIDODO, sehingga formalitas atau kesantunan yang tinggi di institusi ini tetap terjadi. Sumber: https://amp.kompas.com/nasional/read/2015/10/28/18000001/Antara.Jokowi.dan.Joko.Widodo
No comments:
Post a Comment